Ngurus NPWP, buat apa?
Mungkin masih banyak pertanyaan seperti ini, karena bagi sebagian orang NPWP sama dengan kita membayar pajak, males dong, rugi dong, ngapain sih. Tapi karena saya adalah warga negara yang baik (halah), maka saya pung ikut anjuran pemerintah untuk membuat NPWP Pribadi.
Daftarnya mudah, bisa registrasi online di ereg.pajak.go.id, atau datang sendiri ke Kantor Pajak. Saya pilih pendaftaran online karena KTP masih pakai KTP Kampung (belum punya KTP Jakarta nih sampe sekarang). Belakangan ternyata kantor saya menyediakan pembuatan NPWP Kolektif dengan hanya menyerahkan fotokopi KTP ke kantor. Tapi karena saya sudah duluan daftar, ya sudah bikin sendiri saja.
Formulir yang harus kita isi tidak terlalu banyak, memuat alamat kita, alamat tempat usaha dan jenis usaha. Karena saya karyawan, maka alamatnya diisi alamat kantor dan jenis usahanya diisi sebagai Karyawan yang tidak melakukan pekerjaan bebas. Setelah itu Nomor wajb panjak dan pasalnya otomatis akan terisi.
Setelah registrasi kita akan tau dimana alamat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat kita mengambil NPWP sesuai dengan alamat KTP yang kita isikan. Setelah registrasi saya print hasilnya, kemudian telpon ke KPP dan bilang kalau saya sudah registrasi via online. Mereka minta hasil print untuk kemudian di fax ke nomor KPP. Selain itu, minta juga dikirimkan aslinya via pos. Kemudian saya minta kartu NPWP agar dikirim saja ke kantor di Jakarta, dan disetujui.
Lama menunggu, kartu NPWP belum juga nyampe ke kantor. Akhirnya pas kebetulan pulang kampung Jumat kemarin, saya ambil sekalian tuh kartunya. Gak taunya emang sibuk banget tuh kantor pajak, banyak yang bikin NPWP juga. Proses nunggunya tidak lama, karena formnya sudah saya kirim sebelumnya. Kartupun jadi, bentuknya kartu magnet seperti kartu ATM. Selain cepat, membuat NPWP juga gratis. Tidak ada ongkos pembuatan kartu. Jadi klo ada yang menawarkan pembuatan NPWP dengan ongkos tertentu, jangan mau!. Kebetulan di KPP tempat saya mengambil kartu orangnya masih muda-muda dan fresh. Denger-denger sih yang tua dah dipindahin ke bagian lain. Potong generasi gitu lah biar gak ada pungli. Bagus juga nih kayaknya Perpajakkan dah mulai berbenah.
Lalu setelah jadi tinggal serahin deh nomornya ke kantor. PPh tetap dibayar oleh kantor. Selama ini kantor sudah memotong secara otomatis PPh karyawan dan dibayar ke Kantor Pajak, walaupun di slip gaji tidak diketahui berapa besarannya. Bedanya dulu dibayar berdasarkan NPWP kantor, sekarang dibayar berdasarkan NPWP Pribadi karyawan. Jangan sampai kita disuruh ngurus pajaknya sendiri, malesdong.com.
Terus apa lagi kegunaan NPWP? Katanya sih banyak. Diantaranya bisa bebas bayar fiskal dan mendapatkan kredit bersubsidi (kredit perumahan misalnya). Kalau kita berhenti kerja atau pindah kantor, tinggal urus lagi deh. Form untuk pindah dan penhapusan NPWP bisa dibuat via online juga, berdasarkan user pertama kita faftar. Jadi biar gak ngantri di KPP. Cuman gak tau deh, prosesnya semudah bikinnya atau tidak. Bagi yang sudah keluarga, istri dan anak bisa pakai nomor NPWP suami.
Yah, semoga hasil pajak kita ke pemerintah bisa dimanfaatkan lebih baik. Jangan lagi ada korupsi dan penyalahgunaan. Mungkin saja banyak orang pajak yang memiliki stigma bahwa setiap orang atau pengusaha ingin menipu pajak supaya pajak yang dibayarkan tidak banyak. Di lain pihak, masyarakat juga banyak yang beranggapan orang pajak cenderung kurang jujur dan korup, terbukti banyak pegawai pajak kaya-kaya (hehe). Harusnya ini bisa diselesaikan dengan transparansi pajak dan penggunaannya. Seperti kata Ditjen pajak " Lunasi pajaknya, awasi penggunaannya".
Harapan saya seharusnya zakat juga dibuat sistem yang mirip seperti ini. Sehingga penerimaan dan pemanfaatan zakat untuk keperluan umat bisa lebih optimal. Jadi pake kartu wajib Zakat gitu, NPWZ kali ya (hehe). Dan kalau perlu, orang yang sudah bayar zakat secara otomatis akan memotong kewajiban pajaknya. Karena bagi umat Islam pajak dan zakat seberti dobel kewajiban, yang satu kewajiban agama, yang satu kewajiban negara. Bukankah dulu zaman kekhalifahan, zakat juga merupakan kewajiban warga negara sedangkan pajak diwajibkan atas warga yang non muslim/dzimmi. Jadi gak ada tuh dobel-dobel.
Saya dengar sudah banyak negara yang menerapkan sistem deduksi pajak jika si wajib pajak sudah membayar zakat. Semoga Indonesia juga bisa menerepkannya dengan baik.
Menurut Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP - 163/PJ/2003 tanggal 10 Juni 2003, pemerintah telah memberikan fasilitas berupa pengurangan zakat yang dibayarkan kepada BAZ/LAZ yang disyahkan negara dalam mekanisme penghitungan pajak terutang. Dengan demikian beban pajak yang harus dibayarkan akan sedikit berkurang. Tapi pengaplikasian dan penintregasian di lapangan sepertinya belum terdengar gaungnya. Pemerintah dalam hal ini harusnya bersinergi dengan Badan dan Lembaga amil zakat, kemudian mengajak wakil rakyat dalam hal ini adalah rekan-rekan kita di DPR agar dapat menghasilan produk berupa Undang-Undang yang mengatur integrasi zakat-pajak. Karena negera ini yang memang belum menganut sistem Islam.
Oleh karena itu marilah kita pilih wakil-wakil kita yang nantinya akan duduk di legistatif melalui partai yang bersih dan amanah. Lha kok jadi ke pemilu gini ngomongnya :).
Referensi:
1 komentar:
waduh makasih banget neh saya dah baca postingannya yang ini, saya juga mau buat NPWP. met berkunjung balik ya mba,
sekenhom.co.cc atau winsufmaulana.blogspot.com
Posting Komentar