Suatu ketika dalam sebuah kajian, Ustadz bertanya siapa diantara kita yang masih ingat nama kakeknya. Ternyata tidak semua orang ingat nama kakeknya. Lebih-lebih lagi ketika ditanya siapa nama bapak dari kakek (buyut), hmm ... makin banyak yang tidak tahu. Saya sendiri hanya tahu silsilah saya sampai pada kakek saya. Memang kebanyakan kita hampi-hampir tidak perduli dengan silsilah keluarga atau nasabnya. Padalah dengan ini kita bisa tahu asal-usul kita, dan bisa memelihara silaturahmi antar keluarga.
Nah ceritanya lebaran kemarin seperti biasa keluarga saya pergi ke pemakaman keluarga. Pemakaman ini memang merupakah wakaf dari leluhur dan hanya keluarga dan keturunan yang boleh menempatinya. Luasnya lumayan besar, mungkin sekitar 20 meter persegi saya tidak tau tepatnya. Yang jelas ada garis yang mengeliilingi sebagai batas dari pemakaman lain yang ada di sekitarnya. Disitu ada makam buyut saya dan anak-anaknya, yaitu Musa, Ismail, Iskak (kakek saya) dan Fatimah. Tiga yang pertama semua memiliki keturunan dan pasangannya juga dikubur di situ. Sementara Fatimah meninggal ketika belum sempat menikah. Saya baru nyadar, ternyata kakek dan saudara-saudaranya semua pakai nama-nama Nabi dan anak Nabi. Menurut cerita bapak saya, nenek saya yang bernama Mariatul Chaptiah juga masih ada hubungan saudara jauh yang tidak terlalu jauh dengan kakek. Beliau juga di makamkan tidak jauh dari tempat kakek. Sewaktu kakek meninggal saya belum lahir, sementara ketika nenek meninggal saya sudah duduk di bangku SD jadi saya ingat bagaimana sosok nenek secara langsung.
Selain makam kakek dan nenek, juga ada makam saudara-saudara yang lain yang saya juga tidak tau siapa mereka. Bapak saya sendiri juga tidak tahu, dan Dari garis mana tanah ini di wakafkan dan siapa yang mewakafkan keluarga besar kami sudah tidak ada yang tahu. Menurut bapak, dulu ada sepupu bapak yang hafal silsilah keluarga kami. Namun beliau juga sudah meninggal. Selain itu juga ada penjaga kunci makam (Pak Kunci) awal yang tau siapa masing-masing kuburan yang ada di situ. Namun Pak Kunci ini juga sudah meninggal dan digantikan oleh Pak Kunci yang lain.
Tiap lebaran, di wilayah pemakaman wakaf ini juga banyak keluarga besar lain yang berkunjung. Namun kita hanya saling pandang dan maksimal juga cuma saling senyum dan sapa. Padalah kalau dirunut pastilah semua keluarga yang berkunjung ke pemakaman ini masih satu garis keturunan, entah di garis buyut yang mana. Karena pemakaman wakaf ini adalah pemakaman khusus keluarga dan keturunan. Namun diantara makam-makam disitu juga ada yang jarang dikunjungi atau tidak pernah dikunjungi lagi oleh keluarganya. Mungkin karena sudah terputus keturunannya atau bisa jadi tidak ada lagi informasi yang turun-termurun mengenai silsilah keluarga dari ayah ke anak dan seterusnya.
Masih menurut cerita bapak, keluarga kami masih ada keturunan priyayi (bangsawan jawa). Namun Kakek tidak mau di panggil Raden atau den entah kenapa alasannya. Kalau pembantunya memanggil dengan sebutan den langsung dimarahi. Sementara itu dari garis keturanan saudara kakek banyak yang masih memakai nama depan R (Raden) dan RR (Raden Roro). Menurut cerita, para priyayi itu masih ada keturunan bangsawan dan raja-raja jawa. Entah raja yang mana. Namun sekarang gelar priyayi lebih mengarah kepada sifat nantinya. Sifat ingin dilebihkan dan di tinggikan. Lha bangsawan bukan, Kedudukan tidak punya apalagi kerajaan kok masih memakai gelar Raden. Atau mungkin karena alasan itu kakek tidak mau memakai gelar priyayinya.
Kakek saya bisa sekolah di HIS dan MILO, dimana ketika itu hanya orang-orang tertentu yang bisa sekolah di tempat itu. Lulusan MILO (setingkat SMP sekarang) pada waktu itu pasti bisa bahasa Belanda. Lulusan MILO banyak yang menjadi pejabat daerah, termasuk kakek saya. Namun kakek sangat anti dengan belanda. Suatu ketika beliau bekerja di bawah atasan seorang Belanda, kemudian ada temannya yang dimarahi dan dihina. Kakek langsung tidak terima dan akhirnya keluar. Padalah yang memiliki masalah adalah temannya bukan beliau. Cerita lain ketika kakek sudah memiliki karir di Pekalongan ketika itu ada isu serangan agresi dari Belanda. Kakek dan Nenek mengungsi dan tempat tinggal mereka dibakar karena tidak ingin diambil alih oleh Belanda. Setelah aman beliau pindah ke Tegal namun setelah situasi mereda, kakek tidak mau lagi meneruskan karir dan Rumah yang ada di Pekalongan tidak diambil kembali.
Begitulah sekilas cerita dari bapak saya. Setelah saya pikir ternyata penting sekali kita buat satu catatan khusus mengenai silisilah keluarga. Bukan hanya dari mulut ke mulut saja. Kalau saudara besar sudah kumpul, saya sendiri banyak yang tidak tau garis silsilahnya. Cuman bapak saja yang memberitahu kalau yang ini harus dipanggil bude, yang ini dipanggil om, yang itu dipanggil mbah, dan lain sebagainya. Yang masih paham hanya yang seangkatan Ayah ke atas. Sementara saya, sepupu-sepupu dan yang seangkatan sudah banyak yang tidak perduli garis silsilah. Yang penting tau kalau itu saudara saja.
Selain untuk silaturahmi, silsilah keluarga juga bisa dipakai untuk anak keturunan kita untuk mengirim doa. Bukankan doa anak yang sholeh itu makbul. Apakah kita tidak ingin anak keturanan kita kelak selalu mendoakan kita sebagai orang tuanya. Oleh karena itu saya berniat akan membuat satu catatan silsilah mengenai keluarga saya. Paling tidak dari Kakek Buyut ke bawah. Sehingga anak dan cucu saya juga bisa tau dan bisa mendoakan orang tua dan seterusnya ke atas jika kelak saya sudah wafat.
1 komentar:
Penting sekali untuk mengenal silsilah keluarga kita. Keluarga merupakan tempat utama penyemaian cinta kasih. jika kita tidak mengenal keluarga kita yang lain, maka akankah kita bisa menyayangi mereka? Selain itu dengan mengenal silsilah keluarga, kita bisa tetap menjaga tali persaudaraan agar tidak putus. Mungkin saja suatu hari jika kita kesulitan kita bisa mendapat bantuan dari mereka.
Posting Komentar